Jumat, 20 November 2015
Pengabdian Masyarakat Program Studi Kesehatan Masyarakat T.A 2015/2016
Pengabdian Masyarakat STIKes Bhakti Husada Bengkulu T.A 2015/2016 kali ini dilaksanakan di SDN 01 Pekik Nyaring Kabupaten Bengkulu Tengah pada tanggal 20 November 2015.
Kegiatan Pengabdian Masyarakat yaitu berupa penyuluhan kesehatan kepada siswa/siswi kelas I dan kelas II SDN 01 Pekik Nyaring. Adapun tema penyuluhan yaitu:
1. Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS)
2. Cara sikat gigi yang benar
3. Pengenalan dan pencegahan Narkoba
Pelaksanaan penyuluhan dimulai pada pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 11.30 WIB, antusias dari siswa/siswi terhadap penyuluhan ini sangat baik, mereka aktif dalam bertanya dan menjawab beberapa pertanyaan dari dosen (penyuluh).
Diakhir penyuluhan, diadakan photo bersama dengan para siswa/siswi, para guru dan kepala sekolah SDN 01 Pekik Nyaring.
Yudisium & Wisuda angkatan XI Periode II serta Angkat Sumpah Profesi Ners STIKes Bhakti Husada Bengkulu
Acara Yudisium dan Wisuda Angkatan ke XI Periode II serta Angkat Sumpah Profesi Ners STIKes Bhakti Husada Bengkulu dilaksanakan di Grage Horizon Hotel Bengkulu pada tanggal 19 November 2015.
Adapun perserta yudisium dan wisuda yaitu:
1. Lulusan S1 Prodi Kesehatan Masyarakat berjumlah 3 orang
2. Lulusan S1 Prodi Ilmu Keperawatan berjumlah 18 orang
3. Lulusan Profesi Ners berjumlah 21 orang
Senin, 02 November 2015
Mitra Raflesia Vol.3 No. 1 Januari-Juni 2011
HUBUNGAN
POLA ASUH ORANGTUA DENGAN HARGA DIRI
PADA
ANAK CACAT FISIK DI SEKOLAH LUAR BIASA
KOTA
BENGKULU
Rusiandy
Health Community Program
Study, STIKes Bhakti Husada
Jl. Kinibalu 8 Kebun Tebeng Bengkulu Telp (0736) 23422
email :
stikesbh03@gmail.com
ABSTRACT
Data Bengkulu City Social
Welfare Department in 2008 as much as 14.58 % with disabilities and who are in
the city of Bengkulu Extraordinary School 46 . The problem is that there are 5
( five ) people are less active or less than 50 % attendance is expected as low
self-esteem . Research purposes to determine the relationship of parent
parenting self-esteem in children with physical disabilities in Bengkulu city
Extraordinary School. Analytical research type is descriptive cross sectional
method. Sample is total sampling totaled 46 respondents. Collecting data using
questionnaires. Univariate and Bivariate analysis with statistical test Chi
square. The research found that almost half ( 34.8 % ) parenting parents of
children with physical disabilities with less parenting and almost half ( 23.9
% ) self-esteem in children with physical disabilities with low self esteem
which the p value = 0.032. Concluded that almost all parenting parents of
children with physical disabilities with less parenting and almost half of
self-esteem in children with physical disabilities with low self esteem and
there is a significant relationship between parent parenting self-esteem in
children with physical disabilities in Special Schools ordinary city of
Bengkulu. Suggested increasing the physically disabled parents good parenting by
inviting friends to socialize with other normal .
Keywords : Parenting , Self-Esteem and Physical Disabilities
Keywords : Parenting , Self-Esteem and Physical Disabilities
PENDAHULUAN
Kecacatan adalah
suatu kehilangan atau keadaan abnormalitas dari fisiologis atau fisik baik
struktur maupun fungsinya yang dapat menjadi hambatan atau gangguan dalam
melaksanakan aktivitas yang biasanya dapat dilakukan dalam keadaan normal
(Soetiningsih, 2000). Pada beberapa masyarakat tertentu, masih terdapat
beberapa pandangan salah mengenai anak cacat, diantaranya yaitu masih
menganggap anak cacat sebagai kutukan Tuhan. Cacat merupakan dosa warisan
orangtua, dan juga menganggap anak cacat sebagai gangguan dari roh halus.
Berbagai pandangan salah mengenai anak cacat ini menyebabkan penerimaan yang
salah terhadap anak cacat di masyarakat. Masyarakat memandang rendah terhadap
anak cacat sampai mengucilkan anak cacat (Mughni, 2001).
Sikap dan pandangan yang salah dari masyarakat terhadap anak cacat,
seolah-olah penderita cacat itu selain dihukum oleh nasib, juga dihukum oleh
masyarakat normal disekitarnya. Banyak penderita cacat yang menganggap bahwa
kecacatan mereka merupakan “Pagar Tembok” yang merampas mereka dari kehidupan
yang nyata pada masyarakat normal. Mereka hidup didalam lingkungannya sendiri,
dengan sikap-sikap yang negatif, penuh prasangka dan rendah diri, tetapi
sebaliknya banyak pula penderita cacat fisik yang sukses dalam hidupnya. Hal
ini tergantung pada kepribadian mereka sendiri dalam menghadapi keadaan cacat
yang dideritanya, juga kesempatan yang ada (Soetiningsih, 2000). Cacat fisik
adalah anak yang menderita cacat jasmani yang terlihat pada kelainan bentuk,
tulang atau otot, kelainan fungsi otot, tulang, maupun syarafnya (DIKNAS,
1981).
Berdasarkan data yang di dapat dari data Sensus Nasional Biro Pusat Statistik pada
tahun 2003 jumlah penyandang cacat di Indonesia sebanyak 0,7 % dari jumlah
penduduk 211.428.572, di Sulawesi selatan pada tahun 2005 populasi penyandang
cacat fisik sebanyak 37,86 %, menurut Badan Kesehatan dunia jumlah anak cacat
fisik di provinsi Aceh 10 %, menurut data Dinas Kesejahteraan Sosial pada tahun
2008 jumlah penyandang cacat di Kota Bengkulu sebanyak 14,58 %, sedangkan
jumlah siswa dan siswi di Sekolah Luar Biasa Kota Bengkulu sebanyak 46 0rang,
dimana lima orang kurang aktif atau tingkat kehadiran kurang dari 50 %.
Telah dibuktikan dalam suatu
penelitian bahwa terdapat hubungan yang jelas antara keadaan fisik seseorang
dengan harga diri. Individu yang dilaporkan mempunyai kelainan fisik secara
bermakna berhubungan dengan harga diri rendah dari pada individu yang tidak
mempunyai kelainan fisik (Stuart dan Sundeen, 1999). Harga diri sendiri merupakan penilaian pribadi
terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisa seberapa jauh prilaku memenuhi
ideal diri. Harga diri akan membentuk pandangan seseorang terhadap dirinya baik
mengenai fisik, ideal diri, peran maupun identitas diri. Harga diri merupakan
penilaian individu (self evaluation) mengenai dirinya. Penilaian diri ini paling mendasar karena akan membentuk kepribadian
(Stuart dan Sundeen, 1999).
Harga diri yang rendah pada anak cacat akan menyebabkan anak cacat
frustasi terhadap kemampuannya, putus asa, merasa tidak mampu dan menarik diri dari lingkungannya. Hal ini akan
menyebabkan anak cacat tidak mampu mengembangkan diri, mengasah kemampuannya
dan keterampilan agar kecacatan yang ada tidak membuatnya terpuruk dan tidak
berkembang. Pembentukan harga diri pertama kali dan terutama didapatkan melalui
pengalaman yang diperoleh anak dirumah dimana peran orangtua dan kondisi
keluarga mempengaruhi perkembangan kepribadian anak sehingga memiliki peran
penting dalam menimbulkan psikopatologi pada anak (Stuart dan Sundeen, 1999).
Maccoby (1990), menyatakan pola asuh orangtua itu sendiri
menggambarkan interaksi orangtua dengan anak yang didalamnya orangtua
mengekspresikan sikap-sikap, nilai-nilai, minat dan harapan-harapannya dalam
mengasuh dan memenuhi kebutuhan anak. Pola asuh terdiri dari 2 (dua) dimensi yaitu dimensi kehangatan dan dimensi
kendali. Dimensi kehangatan adalah aspek penting dalam pengasuhan anak yang
menunjukkan respon dan afeksi orangtua dan anaknya, sedangkan dimensi kendali
adalah mencakup seberapa jauh orangtua mengendalikan tingkah laku anak untuk
memastikan bahwa peraturan mereka dipatuhi oleh anak-anak mereka (Maccoby, 1990).
Kecacatan pada anak dapat menimbulkan berbagai
sikap dan reaksi orangtua terhadap anak. Ada orangtua yang dapat menerima
kecacatan yang ada pada anaknya, ada menolak keberadaan anak cacat yang
dipandang membawa malu bagi keluarga, atau biasa juga orangtua menjadi terlalu
memanjakan dan melindungi anak dikarenakan perasaan bersalah orangtua terhadap
anak (FK UI, 1995).
Hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan peneliti,
bahwa visi dan misi Sekolah Luar Biasa Kota Bengkulu adalah berkreasi,
berprestasi, berbasis ketrampilan sebagai hidup mandiri berdasarkan pada
nilai-nilai budaya dan agama, dan misi Sekolah Luar Biasa adalah meningkatkan
mutu yang relevan dalam pendidikan khusus dan layanan khusus, menanamkan
keyakinan melalui pengalaman ajaran agama, mengembangkan pengetahuan dibidang
keterampilan bahasa, olahraga, dan seni budaya sesuai dengan bakat, minat dan
kemampuan siswa, meningkatkan prestasi dalam bidang ekstrakulikuler sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh
siswa. Peneliti juga melakukan observasi dan wawancara pada beberapa anak dan
guru yang mengajar bahwa pada beberapa anak, terlihat ada anak yang menghindar
bila diajak bicara, tidak berani menatap lawan bicara. Beberapa diantara mereka
menyatakan mereka tidak mungkin untuk melanjutkan kependidikan yang lebih
tinggi. Ada anak yang terkadang tidak masuk sekolah untuk waktu yang lama dan
tidak aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler sekolah. Orang tua terkadang kurang
mendukung terhadap kegiatan anak di sekolah maupun di luar sekolah dan jarang
terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan di sekolah.
Uraian diatas menunjukkan bahwa pola asuh orangtua
merupakan salah satu komponen penting yang berpengaruh terhadap harga diri anak
cacat fisik yang rendah, itu karena banyak faktor salah satunya
adalah pola asuh orangtua. Oleh karena itu penulis tertarik untuk meneliti
apakah ada hubungan antara pola asuh orangtua dengan harga diri pada anak cacat
fisik di Sekolah Luar Biasa Kota Bengkulu.
METODE
PENELITIAN
Penelitian adalah diskriptif yang bersifat
analitik dengan metode Cross Sectional, dimana akan dipelajari hubungan
antara variabel independen (pola asuh orangtua)
dan variabel dependen (harga diri pada anak cacat fisik) dengan
pengukuran satu kali, pada satu saat (Notoadmodjo, 2005).
Populasi sebanyak 46 orang, yaitu
seluruh orangtua atau wali dan anak penyandang cacat fisik di Sekolah Luar
Biasa Kota Bengkulu.
Pengumpulan data menggunakan kuisioner, sebelum
memulai pengumpulan data, peneliti memilih responden yang sesuai
dengan kriteria sampel.
Analisis Univariat dilakukan untuk
mendapatkan gambaran distribusi frekuensi variabel pola asuh orangtua dan harga
diri anak penyandang cacat sedangkan untuk
melihat hubungan ke dua digunakan
analisis bivariat dan diuji dengan chi-square
yang diolah dengan
komputerisasi program SPSS dengan derajat kepercayaan 95 % (α = 0,05).
HASIL DAN
PEMBAHASAN
HASIL
Penelitian dilaksanakan pada tanggal
25 Agustus 2008 sampai dengan 30 Agustus 2008 di Sekolah Luar Biasa Negeri Kota
Bengkulu, Sekolah Luar Biasa Dharma Wanita Persatuan Provinsi Bengkulu, dan
Sekolah Luar Biasa Amal Mulya Kota Bengkulu. Responden berjumlah 46 orang yaitu
siswa-siswi yang ada di Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP),
Sekolah Menengah Atas (SMA) dan orangtua atau wali. Responden yang tidak
dijumpai disekolah, dilakukan dengan
mendatangi rumah satu persatu. Hasil penelitian adalah sebagai berikut :
Tabel 1. Gambaran Pola Asuh oleh Orangtua terhadap
anak Penyandang Cacat
Fisik di Sekolah Luar Biasa Kota Bengkulu Tahun 2008
No.
|
Pola Asuh Orang
Tua
|
Frekuensi
(f)
|
Presentase
(%)
|
1
|
Kurang
|
16
|
34,8
|
2
|
Baik
|
30
|
65,2
|
|
Jumlah
|
46
|
100
|
Tabel 1 terlihat bahwa hampir sebagian (34,8%) pola asuh orang tua
terhadap anak penyandang cacat fisik dengan pola asuh kurang
Tabel 2. Gambaran harga diri pada anak penyandang cacat fisik
di Sekolah Luar Biasa Kota Bengkulu Tahun
2008
No.
|
Harga Diri Anak
Penyandang
Cacat
|
Frekuensi
(f)
|
Presentase
(%)
|
1
|
Rendah
|
11
|
23,9
|
2
|
Tinggi
|
35
|
76,1
|
|
Jumlah
|
46
|
100
|
Tabel 2 terlihat
bahwa dari 46 responden, hampir sebagian
(23,9%) harga diri pada anak penyandang cacat fisik dengan harga diri
rendah
Analisis bivariat hasilnya
dapat dilihat pada tabel 3 berikut :
Tabel
3. Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan Harga Diri Anak Penyandang
Cacat Fisik
Pola Asuh Orang Tua
|
Harga Diri pada Anak Penyandang
cacat Fisik
|
Total
|
P. Value
|
||||
Rendah
|
Tinggi
|
||||||
N
|
%
|
N
|
%
|
N
|
%
|
0,032
|
|
Kurang
|
7
|
15,2
|
9
|
19,6
|
16
|
34,8
|
|
Baik
|
4
|
8,7
|
26
|
56,5
|
30
|
65,2
|
|
Total
|
11
|
23,9
|
35
|
76,1
|
46
|
100
|
Tabel 3 diatas terlihat
bahwa dari 16 responden, pola asuh orang tua yang kurang dan menyebabkan harga
diri rendah pada anak penyandang cacat fisik sebagian kecil (15,2 %), pola asuh orangtua yang baik dan menyebabkan
harga diri rendah pada anak penyandang fisik sebagian kecil (8,7 %). Hasil uji chi-square didapatkan nilai p value = 0,032. Dikarenakan nilai p value = 0,032 lebih kecil dari α = 0,05 maka dapat disimpulkan H0 ditolak, yang
berarti bahwa terdapat hubungan yang bermakna antar pola asuh orangtua dengan
harga diri pada anak cacat fisik di Sekolah Luar Biasa Kota Bengkulu pada tahun
2008.
PEMBAHASAN
Berdasarkan
penelitian pada variabel Pola Asuh
Orangtua, dari 46 orang responden didapat hampir
sebagian (34,8%) pola asuh orang tua terhadap anak penyandang cacat fisik
dengan pola asuh kurang. Hal ini dapat dilihat dari hasil kuisioner
bahwa orangtua memberikan pujian dan hadiah apabila anak mendapatkan peringkat,
memberikan semangat apabila anak dalam masalah, menjalin kepercayaan sehingga
anak terbuka dan bercerita kepada orangtua dan usahakan anak nyaman dan percaya
kepada orangtua dan bukan malah mengkritik, menghukum dan bahkan mengabaikan
anak tersebut, sehingga anak takut dan selalu tergantung dengan orangtuanya dan
kurang bersosialisasi dengan orang-orang yang ada disekitarnya. Hal ini sesuai
dengan pendapat Hurlock (1991) bahwa dimensi kendali adalah seberapa jauh
orangtua mengendalikan tingkah laku anak untuk memastikan bahwa peraturan
mereka dipatuhi sehingga menunjukkan bahwa pola asuh orangtua dengan dimensi
kendali dan dimensi kehangatan yang diberikan kepada anak akan memberikan
dampak positif bagi anak yakni peningkatan harga diri anak tersebut karena
mereka tinggal dalam satu rumah yang diikat oleh keluarga. Pola asuh yang
dikatakan terbaik bagi anak adalah yang diberikan dalam satu rumah, dengan satu
orang yang berperan sebagai ibu, dalam suatu keluarga yang utuh yang terdiri
dari ayah dan ibu, ada kesinambungan pendidikan anak (Markum, 1991).
Hasil
distribusi frekuensi pada variabel Harga Diri Anak Penyandang Cacat fisik didapat
bahwa hampir sebagian
(23,9%) harga diri pada anak penyandang cacat fisik dengan harga diri
rendah Hal ini sesuai dengan
pendapat Stuart dan Sundeen (1998) yang telah membuktikan bahwa terdapat
hubungan yang jelas antara keadaan fisik seseorang dengan harga diri. Individu
yang dilaporkan mempunyai kelainan fisik secara bermakna berhubungan dengan
harga diri rendah dari pada individu yang tidak mempunyai kelainan fisik. Masih
adanya anak yang memiliki harga diri yang rendah pada penelitian ini selain
dipengaruhi oleh kondisi fisik anak juga dapat disebabkan oleh berbagai faktor
seperti kepribadian dari anak itu sendiri, kemampuan dan kesempatan
menyelesaikan tahap perkembangan, orang terdekat dan peran yang dijalankan,
selain itu pengalaman masa kecil merupakan masa yang berpengaruh dalam
menentukan perkembangan harga diri (Whaley dan Wong, 1998).
Faktor yang
dapat menyebabkan harga diri tinggi pada anak cacat dalam penelitian ini adalah
karena anak dalam lingkungan sekolah dimana anak mendapatkan teman-teman dengan
kondisi fisik yang sama dengan mereka, ini dapat mengurangi perasaan berbeda
anak dengan anak lainnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Hurlock (1991) adanya
perasaan berbeda dari teman-teman dimana akan mempengaruhi sikap anak cacat
terhadap dirinya sendiri. Semakin anak merasa sangat berbeda dengan anak
lainnya maka akan mengakibatkan efek psikologis yang semakin besar. Hal ini
sesuai dengan yang dikemukakan oleh Coopersmith dalam Stuart dan Sundeen (1998)
bahwa cara meningkatkan harga diri anak dapat dilakukan dengan cara memberi
kesempatan kepada anak untuk berhasil, menanamkan gagasan, mendorong aspirasi
dan membentuk koping, oleh karena itu pendidikan pada anak cacat sangat perlu
untuk diberikan, karena pendidikan ini merupakan upaya untuk memberikan
kesempatan bagi anak untuk mengembangkan potensi dan kemampuannya sehingga anak
sanggup menghayati sendiri kemampuan diri pribadinya dan dapat menerima
kecacatannya dengan sikap positif, dapat memiliki keterampilan jasmani dan
kemampuan berguna bagi masa depannya dan dapat memiliki kecakapan untuk
memahami keadaan sekitarnya (FKUI, 1995).
Tujuan
utama pendidikan bagi anak adalah untuk mengembangkan harga diri yang wajar
bagi anak dalam rangka hidup sosial bagi anak nantinya, karena setiap orang
tidak mungkin dapat hidup seorang diri dalam masyarakat dan sebaliknya setiap
orang mempunyai tugas membantu dirinya sendiri dan dalam hal yang diperlukan
benar-benar ia berhak mendapatkan atau menuntut bantuan orang lain (FKUI,
1995).
Hubungan Pola Asuh
Orangtua dengan Harga Diri Anak Penyandang Cacat Fisik. Berdasarkan hasil analisis chi-square didapatkan nilai p value = 0,032 lebih kecil dari
α = 0,05. Maka dapat disimpulkan H0 ditolak yang berarti bahwa terdapat
hubungan yang bermakna antara pola asuh orangtua dengan harga diri anak
penyandang cacat fisik di Sekolah Luar Biasa Kota Bengkulu. Hal ini sesuai
dengan pendapat Coopersmith (Burn, 1993) Pola asuh merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi bagi perkembangan harga diri anak. Praktek membesarkan anak
khususnya kehangatan dan penerapan kedisiplinan yang diterapkan orangtua
terhadap anaknya mempunyai kaitan yang erat dengan adanya perbedaan harga diri
dan individu. Kehangatan dan
penerapan disiplin ini sendiri merupakan dimensi dari pola asuh orangtua. Hasil
penelitian ditemukan bahwa anak yang mempunyai harga diri yang tinggi mempunyai
orangtua yang memberikan kehangatan dan penerimaan serta memberikan
tuntutan-tuntutan yang berada dalam batas kemampuan anak.
Pendapat
diatas sejalan dengan pendapat Shauger dan Lund dalam Asihwarji (1996)
mengatakan bahwa faktor yang mempengaruhi harga diri yaitu pola asuh orangtua
sebagai pendidik yakni dalam berkomunikasi, memberikan dukungan sosial,
pendidikan, cara pengasuhan dan perawatan. Orangtua sangat berperan dalam
mendidik dan membesarkan anak, dimana pendidikan adalah salah satu upaya untuk
meningkatkan harga diri pada anak cacat. Pendidikan pada anak cacat dapat
diberikan melalui Sekolah Luar Biasa (SLB) sesuai dengan jenis kecacatan yang
diderita. Pada penelitian ini sampel yang digunakan adalah anak cacat yang ada
di Sekolah Luar Biasa Kota Bengkulu tahun 2008.
Sekolah
dipandang sebagai tempat untuk mewujudkan seluruh kemampuan yang dimiliki anak
dan sebagai tempat untuk melepasakan ketergantungan anak dari peran orangtua
dan keluarga. Didalam sekolah anak mulai mengenal lingkungan di luar keluarga
seperti guru dan teman. Guru dan teman sebaya juga merupakan salah satu sumber
dalam perkembangan harga diri anak. Hal ini sesuai dengan pendapat Stainers
dalam Burn (1993) telah memperlihatkan dengan begitu jelas didalam studinya
mengenai pengaruh guru-guru melalui komunikasi verbal dan non verbal mereka
terhadap perkembangan emosi dan kepribadian dari murid-murid.
Guru-guru
di Sekolah Luar Biasa Kota Bengkulu sendiri merupakan guru-guru yang telah
melalui suatu pendidikan khusus untuk menjadi pendidik bagi anak cacat fisik,
dimana dalam pendidikan untuk menjadi guru bagi anak cacat sangat ditekankan
untuk selain mengembangkan kemampuan kognitif dan motorik anak juga ditekankan
untuk meningkatkan harga diri anak agar nantinya dapat diharapkan anak dapat hidup
bersosialisasi baik dilikungannya. Selain guru, orangtua juga sangat berperan
penting dalam meningkatkan harga diri anak, hal ini dapat dilihat dari hasil
kuisioner yaitu orangtua yang selalu meluangkan waktu untuk anak mendengarkan
apabila anak mengemukakan pendapat, sering berdiskusi dengan anak mengenai
sesuatu hal yang sedang terjadi, ini menunjukkan bahwa adanya hubungan antara
pola asuh orangtua dengan harga diri pada anak cacat fisik.
SIMPULAN
DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian
tentang hubungan pola asuh orangtua dengan harga diri pada anak cacat fisik di
Sekolah Luar Biasa Kota Bengkulu Tahun 2008 maka dapat ditarik simpulan bahwa :
1. Gambaran
pola asuh yang diterapkan orangtua pada anak penyandang cacat fisik di Sekolah
Luar Biasa Kota Bengkulu tahun 2008 masih kurang.
2. Gambaran
harga diri pada anak penyandang cacat fisik di Sekolah Luar Biasa Kota Bengkulu
tahun 2008 menunjukkan harga diri yang rendah
3. Adanya hubungan yang bermakna antara pola asuh
orangtua dengan harga diri pada anak cacat fisik di Sekolah Luar Biasa Kota
Bengkulu pada tahun 2008.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian
maka disarankan kepada beberapa pihak yang terkait antara lain Institusi
Sekolah Luar Biasa (SLB) Kota Bengkulu perlu melakukan program pemantauan
perkembangan anak penyandang cacat fisik
serta memberikan motivasi kepada orangtua agar memberikan pola asuh
dengan baik kepada anak penyandang cacat fisik dan berupaya meningkatkan dan
mengembangkan potensi anak cacat fisik termasuk harga diri anak cacat fisik di
Sekolah Luar Biasa Kota Bengkulu.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. 1998. Prosedur Penelitian Suatu
Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta.
Asihwarji, D. 1996. Ensiklopedi Psikologi.
Jakarta : Arcan.
Baumrid. 1991. Pola Asuh. Diakses pada tanggal
17 juni 2008 dari http://www.google.com.
Branden, N. 1994. The Six Pillars Of Self
Esteem. New York : Bantam.
Burn, RB.1993. Konsep Diri,
Teori, Pengukuran, Perkembangan dan Perilaku. Jakarta : Arcan.
Clemes, dkk. 2001. Membangkitkan Harga Diri Anak. Jakarta
: Mitra Utama.
Depsos. 1999. Cacat Fisik . Diakses pada
tanggal 17 Juni 2008 dari http://www.google.com.
Diknas. 1981. Mengenal Anak Tuna Daksa. Di
akses pada tanggal 17 Juni 2008 dari
http ://www.google.com.
Edi. 2001. Cacat Fisik. Diakses
pada tanggal 17 Juni 2008 dari http://www.google.com.
Fitgeral. 2001. Tuna Daksa. Diakses
pada tanggal 17 Juni 2008 dari http://www.google.com.
Frances. 2002. Etiologi Cacat
Fisik. Diakses pada tanggal 23 Juni 2008 dari http
://www.google.com.
Harijanto, Sutji. 2008. Jumlah Anak cacat Fisik di Indonesia. Diakses pada
tanggal 12 Agustus 2008 dari http ://www.google.com.
Hurlock, E. 1991. Perkembangan Anak Jilid I. Jakarta.
Erlangga.
Maccoby, E. E. 1990. Social Development :Psikology
Growth and The Parent-Child Relationship : New York. Harcout Brace
Jovonovich. Inc.
Markum. 1991. Pola Asuh Orangtua. Diakses pada
tanggal 12 Agustus 2008 dari http
://www.google.com.
Mugni, A. 2001. Sikap Negatif memunculkan
kecacatan. Diakses pada tanggal 23
Juni 2008 dari http ://www.google.com.
Notoatmodjo, S. 2002. Metodologi Penelitian
Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
Oktarina. 2006. SPSS 13.0 Untuk Orang Awam,
Maxikom, Palembang.
Soetiningsih. 2000. Tumbuh
Kembang Anak. Bandung : Alfabet
Staf
Pengajar Ilmu Kesehatan Anak. 1995. Buku Ajar Kesehatan Anak Jilid I.
Jakarta: FKUI.
Stuart dan Sundeen. 1998. Buku Saku Keperawatan
Jiwa. Edisi ke-3. Jakarta : EGC.
Wardani, dkk. 2003. Pengantar Pendidikan Luar Biasa.
Jakarta : Universitas Terbuka.
Wong, DL. 1998. Whaley and Wong’s. Nursing
care of infant and children : St.Louis, Missouri. Mosby, Year Inc.
Jumat, 30 Oktober 2015
Mitra Raflesia Vol. 3 No. 2 Juli – Desember 2011
HUBUNGAN SANITASI LINGKUNGAN DAN PERILAKU DENGAN
KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE DI BENGKULU
NH.
Noeraini
Health
Community Education Program, STIKes Bhakti Husada
Jl. Kinibalu 8 Kebun Tebeng Bengkulu Telp
(0736) 23422
email
: stikesbh03@gmail.com
ABSTRACT
Since 1968 the death rate due to dengue fever in Indonesia increased from 0.05 (1968 ) to 8.14 ( 1973), 8.65 (1983 ) and reached the highest rate in 1988 is 27.09 per 100,000 population by the number of patients as 47 573 people. 1,527 people died from 201 patients reported the second level. The problem in this study was the high morbidity rate of dengue hemorrhagic fever in the Village District of Gading Cempaka Cempaka Permai City Bengkulu. Tujuan study was to determine the relationship of environmental sanitation and behavior with the incidence of dengue in the Village District of Gading Cempaka Cempaka Permai Bengkulu City.
This type of research diskrptif an analytical case control design. DBD sample is positive as negative as dengue cases and controls, sample size of 60 people. Univariate and bivariate analysis with the Chi-Square test statistic.
Results were obtained, almost half ( 45 % ) poor home sanitation, almost half ( 46.7 ) of bad behavior, and environmental sanitation relationship with the incidence of dengue p value ( 0.038 ), as well as behavioral relationship with the incidence of dengue p value ( 0,020 ) Conclusions More than half of both the environment and behavior and there is a significant relationship between environmental sanitation and behavior with the incidence of dengue. It is recommended in order to optimize the health center community education programs about dengue disease and the role of the community through 3M plus. .
Keywords : DBD , environmental sanitation and behavior
PENDAHULUAN
Salah satu sasaran peningkatan dan pemerataan pelayanan kesehatan
adalah untuk menurunkan angka kematian dan meningkatkan derajat kesehatan yang
optimal. Demam berdarah dengue (DBD)
merupakan salah satu penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus ditandai
dengan demam disertai pendarahan dan dapat menimbulkan syok dan kematian, terjadi
pada anak-anak dan dewasa dengan gejala utama demam meningkat, nyeri otot dan
biasanya memburuk setelah dua hari pertama (Mansjoer, 1999).
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan
oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti. Penyakit ini dapat menyerang semua orang dan dapat
mengakibatkan kematian terutama pada anak sehingga sering menimbulkan kejadian
luar biasa atau wabah (Hadinegoro, 1999). Menurut WHO (1997), Demam berdarah
dengue (DBD) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus dengue family flaviviridae, dengan genusnya
adalah flavivirus. Virus ini mempunyai empat serotype yang
dikenal dengan DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Secara klinik mempunyai tingkatan
manifestasi yang berbeda, tergantung dari serotype
virus dengue. Morbiditas penyakit DBD menyebar di negara-negara tropis dan
subtropis. Di setiap negara penyakit DBD mempunyai manifestasi klinik yang
berbeda
Demam berdarah dengue
(DBD) disebabkan oleh virus dengue yang tergolong arbovirus dan masuk kedalam
tubuh penderita melalui gigitan nyamuk Aedes
Aegypti (betina), penyakit ini sering menimbulkan wabah dan menyebabkan
kematian pada banyak orang dalam waktu singkat.
Demam berdarah dengue (BDB) semakin menyebar luas sejalan dengan
meningkatnya arus transportasi dan kepadatan semua desa atau kelurahan
mempunyai resiko untuk terjangkit DBD karena nyamuk penular (Aedes Aegyti) tersebar di seluruh
pelosok tanah air, kecuali pada daerah yang tingginya lebih dari 100 m dari
permukaan laut (Depkes RI, 1999).
Menurut HL Bloom (Depkes RI, 1999), derajat kesehatan dipengaruhi
oleh beberapa faktor yaitu faktor keturunan (herediter), lingkungan (environment),
pelayanan kesehatan (Health service) dan perilaku (behavior). Keadaan lingkungan sangat
berpengaruh karena tidak memenuhi persyaratan kesehatan baik pedesaan maupun
perkotaan yang disebabkan karena prilaku, kurangnya pengetahuan dan kemampuan
masyarakat dibidang kesehatan, ekonomi, maupun teknologi. (Depkes RI,
2001).
Sanitasi Lingkungan adalah bagian dari ilmu kesehatan lingkungan
yang meliputi cara dan usaha individu atau masyarakat untuk mengontrol dan
mengendalikan lingkungan hidup eksternal yang berbahaya bagi kesehatan serta
yang dapat mengancam kelangsungan hidup manusia ( Budiman Chandra, 2005).
Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (makhluk
hidup) yang bersangkutan. Perilaku manusia berasal dari dorongan yang ada dalam
diri manusia, sedang dorongan merupakan usaha untuk memenuhi kebutuhan yang ada
dalam diri manusia. Terdapat berbagai macam kebutuhan diantaranya kebutuhan
dasar dan kebutuhan tambahan (Purwanto, 1999). Menurut Notoatmodjo, (2003)
perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan
dari luar). Robert Kwick (1974) di kutip dari Notoatmodjo, (2003) menyatakan
bahwa perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat
diamati dan bahkan dapat dipelajari.
Bloom (1976), mengatakan bahwa aspek perilaku yang dikembangkan
dalam proses pendidikan meliputi tiga ranah yaitu : ranah kognitif
(pengetahuan), ranah afektif (sikap) dan ranah psikomotor (keterampilan).
Kasus penyakit DBD di Provinsi Bengkulu pada tahun 2007 tercatat
jumlah kasus 170 orang dengan kasus tertinggi di wilayah Kerja Puskesmas
Lingkar Barat yaitu dengan persentase 19,41 %, tahun 2008 tercatat jumlah kasus
181 orang dengan kasus tertinggi di Wilayah Kerja Puskesmas Lingkar Barat yaitu
dengan persentase 18,23 %. Data tersebut
menunjukkan bahwa Puskesmas Lingkar Barat memiliki kasus penderita DBD yang
tertinggi di antara Puskesmas lain di Kota Bengkulu, Hal ini diperkuat lagi
dengan data pada tahun 2009 kasus penderita DBD di Puskesmas Lingkar Barat meningkat
menjadi 49 kasus (Dinkes Kota, 2009).
Tindakan pencegahan terhadap penyakit lebih baik daripada mengobati, maka faktor penentu kejadian
penyakit dikenali dan dipahami. Salah satu penyebab tidak langsung yaitu
perilaku manusia yang berasal dari dorongan yang ada di dalam diri manusia dan
sanitasi lingkungan yang mencakup perumahan, pembuangan kotoran, penyediaan air
bersih.
Data yang diperoleh dari Profil Puskesmas Lingkar Barat Kelurahan
Cempaka Permai tahun 2009 menunjukan persentase rumah sehat yaitu 84,55 %,
persentase keluarga dengan kepemilikan sarana sanitasi jamban sehat yaitu 92,25
%, persentase pengolahan air limbah sehat yaitu 81,89 %, perentase keluarga
memiliki akses air bersih dengan tingkat pencemaran tinggi yaitu 1,35 % tingkat
pencemaran sedang 9,21 % dan pencemaran rendah 89,43 %. Perilaku masyarakat di
Kelurahan Cempaka Permai masih belum menunjukkan perilaku sehat, hal ini
ditunjukkan dengan perilaku masyarakat yang belum mengarah pada pelaksanaan 3 Mplus
untuk mencegah penyakit DBD.
Meningkatkan peran aktif masyarakat dan anggota keluarga dalam
pencegahan dan penanggulangan penyakit DBD merupakan kunci keberhasilan upaya
pemberantasan penyakit DBD. Berdasarkan latar belakang diatas penulis tertarik
untuk melakukan penelitian tentang “Hubungan Sanitasi Lingkungan dan Perilaku
dengan Kejadian DBD di Kelurahan Cempaka Permai Kecamatan Gading Cempaka Kota Bengkulu ”.
METODE
PENELITIAN
Jenis penelitian adalah diskriptif yang bersifat analitik dengan rancangan penelitian case control yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara
variabel independen (faktor resiko) sebagai sebab dan variabel dependen
(kejadian DBD) sebagai akibat. Rancangan kasus kontrol dilakukan dengan cara
menentukan terlebih dahulu kelompok yang sakit (kasus) dan tidak sakit
(kontrol), kemudian menelusuri ke
belakang untuk mencari faktor penyebab untuk terjadinya akibat (Murti, 2000)
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh orang
di Kelurahan Cempaka Permai Kecamatan Gading Cempaka yang berobat di Puskesmas
Lingkar Barat pada tahun 2009.
Sampel adalah (penduduk) penderita DBD positif yang dibuktikan
dengan hasil laboratorium dijadikan sebagai kasus yaitu sebanyak 30 kasus dan
yang tidak menderita DBD yang dibuktikan dengan hasil pemeriksaan laboratorium dijadikan
sebagai kontrol serta bersedia dijadikan
subjek penelitian, kontrol diambil dari penderita yang tidak DBD dengan
perbandingan 1:1 sehingga kontrol diambil sebanyak 30 orang. Jadi jumlah sampel
adalah 60 orang.
Kasus adalah penderita DBD yang ditemukan selama
penelitian dari unit pelayanan
(Puskesmas) yang ada di wilayah penelitian berdasarkan gejala klinis DBD dan
ditemukan plasmodium dalam darah yang
dibuktikan dengan hasil pemeriksaan laboratorium. Kriteria Inklusi adalah
karakteristik umum dari subjek penelitian yang layak untuk dilakukan penelitian
atau dijadikan responden. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah :
1.
Seluruh penduduk yang pernah diperiksa sediaan darahnya secara
mikroskopis positif DBD dijadikan sebagai kasus, sedangkan penduduk yang pernah
diperiksa darahnya secara mikroskopis negatif DBD dijadikan sebagai kontrol.
2.
Tercatat/terdaftar dibuku register Puskesmas
3.
Merupakan warga yang berdomisili (tinggal menetap) di kelurahan Cempaka
Permai Kecamatan Gading Cempaka.
4.
Bersedia menjadi subjek penelitian atau menjadi responden.
Kriteria Eksklusi merupakan subjek penelitian
yang tidak dapat mewakili sampel karena tidak memenuhi syarat sebagai sampel
penelitian. Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah :
1.
Penduduk yang belum pernah diperiksa sediaan darahnya secara mikroskopis
2.
Warga yang berobat atau melakukan pemeriksaan di kelurahan Cempaka Permai
Kecamatan Gading Cempaka.
3.
Tidak bersedia menjadi subjek penelitian atau menjadi responden.
Kontrol pada penelitian ini adalah
penderita yang mempunyai karakteristik yang hampir sama dengan kasus. Calon
kontrol didata di setiap wilayah Puskesmas penelitian dan dibuat kerangka
sampel. Pemilihan kontrol dilakukan dengan menggunakan metode Simple
Random Sampling dengan kriteria
kontrol :
1. Pasien (warga
yang berobat ke Puskesmas) dengan tidak menderita penyakit DBD
2.
Dapat berkomunikasi dengan baik
3.
Bersedia menjadi responden
Penelitian dilakukan tanggal 29 Mei sampai dengan 25 Juni 2010 di Kelurahan
Cempaka Permai Kecamatan Gading Cempaka Kota Bengkulu
Data primer
diperoleh dengan cara membagikan kuesioner tentang sanitasi lingkungan,
perilaku dan kejadian DBD kepada responden dengan bentuk pertanyaan tertutup.
Sedangkan data sekunder adalah data yang didapat tidak langsung dari responden,
tapi didapatkan dengan metode pencarian data dari yang berkunjung ke puskesmas
Lingkar Barat dan data laporan dinas kesehatan Kota Bengkulu.
Analisis univariat dilakukan
untuk memperoleh gambaran distribusi frekuensi subjek penelitian dan proporsi
kasus dan kontrol menurut masing-masing variabel Independen (faktor resiko)
yang diteliti.
Analisis Bivariat
digunakan untuk melihat hubungan statistik antara variabel independen dan
variabel dependen. Uji statistik yang digunakan untuk melihat hubungan antara
variabel di dalam penelitian ini adalah dengan uji Chi-Square dengan tingkat kepercayaan 95% (p=0,05) dilakukan dengan
bantuan program SPSS
Selanjutnya juga diperoleh besar resiko (Odds rasio/OR) paparan terhadap kasus.
HASIL DAN
PEMBAHASAN
HASIL
Data karakteristik penelitian ini yaitu variabel jenis kelamin, umur,
pendidikan, dan pekerjaan dinyatakan dalam presentase sebagai berikut :
a. Kelompok
Kasus
Penderita DBD lebih dari
sebagian (66,67%) laki-laki, hampir sebagian berada pada kelompok umur 1-10
tahun, sebagian (50%) berpendidikan SMA, dan menurut pekerjaan hampir sebagian (36,67%) adalah pelajar.
b. Kelompok Kontrol
Responden lebih sebagian (60%) berjenis
Kelamin laki-laki, berada pada kelompok
umur 31-40 tahun, lebih sebagian (56,67) berpendidikan SMA,dan hampir sebagian (43,33) bekerja sebagai PNS
Variabel yang menjadi fokus pada
penelitian ini adalah variabel
independen yaitu sanitasi lingkungan dan perilaku, sedangkan variabel dependen
adalah kejadian DBD. Untuk
menilai sanitasi lingkungan dan perilaku dari responden di Kelurahan Cempaka
Permai Kecamatan Gading Cempaka Kota Bengkulu, maka jawaban responden
dikelompokkan dalam dua kategori yaitu ya dan tidak dengan indikator skor 1-2
kemudian digunakan metode nilai tengah (median) dan tabel distribusi frekuensi.
Hasil Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan
Sanitasi Lingkungan Di Kelurahan Cempaka Permai Kota Bengkulu
diperoleh bahwa dari 60 responden, hampir sebagian (45%) sanitasi lingkungan rumahnya buruk. Hasil Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Perilaku Di Kelurahan Cempaka Permai
Kota Bengkulu diperoleh bahwa dari 60 responden hampir sebagian (46,7)
perilaku buruk. Hasil Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kejadian DBD Di
Kelurahan Cempaka Permai Kota Bengkulu diperoleh bahwa jumlah kelompok kasus
(DBD) dan kelompok kontrol (tidak DBD) sama, yaitu 30 orang (50%)
Analisis bivariat bertujuan untuk mengetahui satu
hubungan antara satu variabel independen dengan variabel dependen. Jenis uji
statistik yang dipakai yaitu Chi-Square
yang diolah dengan sistem komputerisasi, adapun analisisnyasebagai berikut:
Berdasarkan tabulasi silang data sanitasi
lingkungan dengan kejadian DBD, maka dapat diketahui pada kelompok kasus (DBD),
18 orang (60%) menyatakan sanitasi lingkungan buruk, sedangkan 12 orang (40 %)
menyatakan sanitasi lingkungan baik. Pada kelompok kontrol (tidak DBD), 9 orang
(30%) menyatakan sanitasi lingkungan buruk, sedangkan 21 orang (70%) menyatakan
sanitasi lingkungan baik. Hasil uji chi square diperoleh nilai p value
(0,038) < (0,05) maka Ho ditolak dan Ha diterima. Artinya ada hubungan
antara sanitasi lingkungan dengan kejadian DBD. Nilai Odds Rasio (OR)
pada variabel sanitasi lingkungan yaitu 3,500 (CI : 1,201-10,196).
Berdasarkan tabulasi silang data perilaku dengan
kejadian DBD, maka maka dapat diketahui pada kelompok kasus (DBD), 19 orang (63,3
%) menyatakan perilaku buruk, sedangkan 11 orang (36,7 %) menyatakan perilaku
baik. Pada kelompok kontrol (tidak DBD), 9 orang (30%) menyatakan perilaku
buruk, sedangkan 21 orang (70%) menyatakan perilaku baik. Diperoleh p value (0,020) < (0,05) maka Ho
ditolak dan Ha diterima. Artinya ada hubungan antara perilaku dengan kejadian
DBD. Nilai Odds Rasio (OR) pada variabel sanitasi lingkungan yaitu 4,030
(CI : 1,372-11,839).
PEMBAHASAN
Variabel Sanitasi Lingkungan Responden Di Kelurahan
Cempaka Permai Kecamatan Gading Cempaka Kota Bengkulu, bahwa dari 60 responden, hampir sebagian
(45%) sanitasi lingkungan rumahnya
buruk. Hasil penelitian diperoleh bahwa parit didepan rumah tidak mengalir, ada
kamar yang tidak berjendela sehingga lembab, tandon air tidak dikuras setiap hari dan pot-pot bunga jarang dibersihkan. Sesuai hasil penelitian Fathi dan Chatarina (2005) bahwa faktor lingkungan berupa
keberadaan kontainer air, baik yang berada di dalam maupun di luar rumah
menjadi tempat perindukan nyamuk Aedes sebagai vektor penyakit Demam
Berdarah Dengue, merupakan faktor yang sangat berperan terhadap
penularan ataupun terjadinya kejadian
Luar Biasa penyakit Demam Berdarah Dengue.
Variabel Perilaku Responden Di Kelurahan Cempaka
Permai Kecamatan Gading Cempaka Kota Bengkulu, bahwa dari 60 responden hampir
sebagian (46,7) perilaku buruk. Hasil penelitian diperoleh bahwa tidak menguras tandon air setiap hari, baju
bergelantungan, tidak memasang kasa di ventilasi dan tidak segera membuang
kalengkaleng bekas ke TPA
Hubungan Sanitasi
Lingkungan dengan Kejadian DBD diperoleh nilai p 0,038 (< a 0,05), berarti ada hubungan antara sanitasi
lingkungan dengan kejadian DBD. Kelompok kasus dengan sanitasi lingkungan baik hampir sebagian (40%), hasil
penelitian diperoleh bahwa pada kelompok kasus terkena gigitan nyamuk di sekolah, di kantor
dan di tempat saudara yang terkena DBD. Pada saat tidur di rumah tidak pakai
kelambu dan tidak memakai autan. Kelompok kasus dengan sanitasi lingkungan
buruk sebagian besar (60 %). Hasil penelitian diperoleh, responden pakaiannya
bergelantungan, tandon air dikuras lebih 3 hari , parit tergenang, tidur tdk
pakai kelambu dan tidak pakai autan. Hal ini sejalan dengan teori Bloom dalam Depkes
(2001) bahwa status kesehatan ditentukan oleh 4 faktor yaitu faktor keturunan (herediter), lingkungan (environment), pelayanan kesehatan (Health service) dan perilaku (behavior).
Selain itu, hasil penelitian Maironah (2005), bahwa dalam melakukan pencegahan
DBD, keluarga perlu melakukan beberapa metode yang tepat, salah satunya yaitu metode
lingkungan dengan pemberantasan sarang nyamuk (PSN), pengelolaan sampah padat, dan
modifikasi tempat perkembangbiakan nyamuk.
Hasil penelitian Widia (2009) tentang analisis faktor
yang berhubungan
dengan kejadian DBD menyatakan bahwa faktor pengetahuan, kebiasaan menggantung
pakaian, kondisi TPA, kebersihan lingkungan berhubungan dengan
kejadian DBD, faktor TPA yang merupakan faktor paling berpengaruh dengan
kejadian DBD, selain itu
hasil penelitian Fathi dan Chatarina
(2005) bahwa faktor lingkungan berupa keberadaan kontainer air,
baik yang berada di dalam maupun di luar rumah menjadi tempat perindukan
nyamuk Aedes sebagai vektor penyakit Demam Berdarah Dengue, merupakan
faktor yang sangat berperan terhadap penularan ataupun terjadinya kejadian Luar Biasa penyakit
Demam Berdarah Dengue.
Pada kelompok kontrol (tidak DBD) sanitasi lingkungan
buruk ( 30 %) dan sanitasi lingkungan
baik (70%). Hasil penelitian responden tidur mengenakan kelambu dan memakai
autan dan pada pagi hari tidak ada yang tidur rumah. Sesuai dengan teori Notoatmodjo (2003)
bahwa, kesehatan lingkungan pada
hakekatnya adalah suatu kondisi atau keadaan lingkungan yang optimum sehingga
berpengaruh positif terhadap terciptanya kesehatan yang optimum.
Hubungan Perilaku dengan Kejadian DBD
Hubungan antara perilaku
dengan kejadian DBD diperoleh nilai p = 0,020 (< a 0,05), berarti ada hubungan antara perilaku
dengan kejadian DBD. Kelompok kasus (DBD), 19 orang (63,3 %) menyatakan perilaku buruk, sedangkan
11 orang (36,7 %) menyatakan perilaku baik. Hasil
penelitian diperoleh bahwa sebagian besar responden tidak menguras tandon air
setiap tiga hari, tidak segera mencuci baju sehingga baju bergelantungan
menyebabkan nyamuk bersarang, tidak menimbun kaleng di sekitar rumah. Pada kelompok kontrol (tidak DBD), 9 orang (30%)
menyatakan perilaku buruk, sedangkan 21 orang (70%) menyatakan perilaku baik.
Hasil penelitian diperoleh hampir sebagian perilaku buruk dan
tidak DBD, dikarenakan pada pagi hari rumah tidak ada orang sehingga kesempatan
nyamuk aedes aigypti menggigit tidak ada. Pada malam hari
responeden mtidur menggunakan obat nyamuk bakar dan ada yang menggunakan
kelambu. Hal
ini sejalan dengan teori Bloom dalam Depkes (2001) bahwa dalam status kesehatan,
faktor perilaku dan lingkungan merupakan faktor yang paling dominan dari ke
empat faktor keturunan, lingkungan, pelayanan kesehatan, dan perilaku. Selain
itu, teori Notoatmodjo (2003) mengungkapkan perilaku terhadap sakit dan
penyakit sesuai dengan tingkat-tingkat pencegahan penyakit yakni pertama, perilaku
sehubungan dengan peningkatan dan pemeliharaan kesehatan (Health promotion behavior). Tingkat kedua, perilaku pencegahan
penyakit (Health prevention behavior)
adalah respon untuk melakukan pencegahan penyakit, misalnya tidur memakai
kelambu untuk mencegah gigitan nyamuk Aedes
Aegpty. Begitu juga hasil penelitian Yatim (2001), bahwa cara yang paling
efektif yang dapat dilakukan keluarga dalam pencegahan DBD adalah dengan 3 Mplus,
yaitu menutup, menguras, menimbun. Selain itu juga melakukan beberapa plus
seperti memelihara ikan pemakan jentik, memberikan bubuk abate; menggunakan
kelambu pada waktu tidur, memasang kasa, menyemprot dengan insektisida,
memasang obat nyamuk, memeriksa jentik berkala, dan lain-lain sesuai dengan
kondisi setempat.
Upaya pencegahan penyakit demam berdarah dengan membersihkan pekarangan rumah, membersihkan rumah,
bak air di kamar mandi jika bisa
dikuras setiap hari. Jika memiliki pot-pot bunga di dalam rumah harus diganti airnya
setiap hari karena pot
tersebut merupakan tempat bersarang nyamuk penyebab deman berdarah (Rotua Sumihar, 2009). Hasil penelitian Fathi dan Chatarina (2005) juga menunjukkan
bahwa tindakan 3M berperan positif
terhadap pencegahan terjadinya KLB penyakit DBD, selain itu penelitian Anton
(2008) bahwa kebiasaan keluarga memakai anti nyamuk disiang hari berhubungan
dengan kejadian DBD dan kebiasaan keluarga menggantung pakaian berhubungan
dengan kejadian DBD.
SIMPULAN DAN SARAN
SIMPULAN
Ada hubungan yang bermakna antara variabel sanitasi
lingkungan dan perilaku dengan kejadian DBD di Kelurahan Cempaka Permai Kecamtan Gading Cempaka
Kota Bengkulu.
SARAN
Disarankan petugas puskesmas meningkatkan program penyuluhan
tentang penyakit DBD kepada masyarakat baik di dalam dan di luar gedung
Puskesmas serta meningkatkan peran serta masyarakat melalui
pemberantasan
sarang nyamuk seperti menjalankan 3 M plus.
DAFTAR PUSTAKA
Budiman
Chandra, 2005. Pengantar Kesehatan
lingkungan Kedokteran .Jakarta : EGC.
Dep Kes RI, 2001. Pemberantasan Penyakit Menular dan
Penyehatan Lingkungan (P2MPL). Jakarta.
_________1999. Pedoman Penanggulangan Demam Berdarah
Dengue. Jakarta: Depkes RI.
,2003. Standar
Prosedur Operasional Klinik Sanitasi Untuk PKM. Jakarta: Dirjen PPM dan PL.
,2007. Penyelidikan
dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa. Jakarta: Dirjen Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan.
Dinas
Kesehatan Kota Bengkulu, 2009. Laporan
Tidak Diterbitkan.
Fathi dan
Chatarina. 2005. Peran Faktor Lingkungan
dan perilaku terhadap Penularan Demam Berdarah Dengue Di Kota Mataram.
Mataram : Jurnal Kesehatan Lingkungan.
Hadinegoro,
S.R.H, 1999. Demam Berdarah Dengue.Jakarta
: FKUI.
Murti, B.
2000. Prinsip dan Metode Riset
Epidemiologi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Notoatmojo, 2003. Pendidikan Dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Adi Maha
Satya.
Purwanto,
H, 1999. Pengantar Perilaku Manusia untuk
Keperawatan. Jakarta : EGC.
Sitorus,
Rotua Sumihar. 2009. Perilaku Masyarakat
Dalam Pencegahan Penyakit Demam Berdarah Dengue Di Puskesmas Medan Johor Kota
Medan Tahun 2009. USU.
Yasmin,
1999. Demam Berdarah Dengue. Edisi 2.
Jakarta : EGC.
Langganan:
Postingan (Atom)