Jumat, 20 November 2015

Pengabdian Masyarakat Program Studi Kesehatan Masyarakat T.A 2015/2016











Pengabdian Masyarakat STIKes Bhakti Husada Bengkulu T.A 2015/2016 kali ini dilaksanakan di SDN 01 Pekik Nyaring Kabupaten Bengkulu Tengah pada tanggal 20 November 2015.

Kegiatan Pengabdian Masyarakat yaitu berupa penyuluhan kesehatan kepada siswa/siswi kelas I dan kelas II SDN 01 Pekik Nyaring. Adapun tema penyuluhan yaitu:
1. Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS)
2. Cara sikat gigi yang benar
3. Pengenalan dan pencegahan Narkoba

Pelaksanaan penyuluhan dimulai pada pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 11.30 WIB, antusias dari siswa/siswi terhadap penyuluhan ini sangat baik, mereka aktif dalam bertanya dan menjawab beberapa pertanyaan dari dosen (penyuluh).

Diakhir penyuluhan, diadakan photo bersama dengan para siswa/siswi, para guru dan kepala sekolah SDN 01 Pekik Nyaring.

Yudisium & Wisuda angkatan XI Periode II serta Angkat Sumpah Profesi Ners STIKes Bhakti Husada Bengkulu







Acara Yudisium dan Wisuda Angkatan ke XI Periode II serta Angkat Sumpah Profesi Ners STIKes Bhakti Husada Bengkulu dilaksanakan di Grage Horizon Hotel Bengkulu pada tanggal 19 November 2015.
Adapun perserta yudisium dan wisuda yaitu:
1. Lulusan S1 Prodi Kesehatan Masyarakat berjumlah 3 orang
2. Lulusan S1 Prodi Ilmu Keperawatan berjumlah 18 orang
3. Lulusan Profesi Ners berjumlah 21 orang


Senin, 02 November 2015

Mitra Raflesia Vol.3 No. 1 Januari-Juni 2011



HUBUNGAN POLA ASUH ORANGTUA DENGAN HARGA DIRI
PADA ANAK CACAT FISIK DI SEKOLAH LUAR BIASA
KOTA BENGKULU

Rusiandy

Health Community Program Study, STIKes Bhakti Husada
Jl. Kinibalu 8 Kebun Tebeng Bengkulu Telp (0736) 23422
email : stikesbh03@gmail.com

ABSTRACT

Data Bengkulu City Social Welfare Department in 2008 as much as 14.58 % with disabilities and who are in the city of Bengkulu Extraordinary School 46 . The problem is that there are 5 ( five ) people are less active or less than 50 % attendance is expected as low self-esteem . Research purposes to determine the relationship of parent parenting self-esteem in children with physical disabilities in Bengkulu city Extraordinary School. Analytical research type is descriptive cross sectional method. Sample is total sampling totaled 46 respondents. Collecting data using questionnaires. Univariate and Bivariate analysis with statistical test Chi square. The research found that almost half ( 34.8 % ) parenting parents of children with physical disabilities with less parenting and almost half ( 23.9 % ) self-esteem in children with physical disabilities with low self esteem which the p value = 0.032. Concluded that almost all parenting parents of children with physical disabilities with less parenting and almost half of self-esteem in children with physical disabilities with low self esteem and there is a significant relationship between parent parenting self-esteem in children with physical disabilities in Special Schools ordinary city of Bengkulu. Suggested increasing the physically disabled parents good parenting by inviting friends to socialize with other normal .

Keywords : Parenting , Self-Esteem and Physical Disabilities


PENDAHULUAN

            Kecacatan adalah suatu kehilangan atau keadaan abnormalitas dari fisiologis atau fisik baik struktur maupun fungsinya yang dapat menjadi hambatan atau gangguan dalam melaksanakan aktivitas yang biasanya dapat dilakukan dalam keadaan normal (Soetiningsih, 2000). Pada beberapa masyarakat tertentu, masih terdapat beberapa pandangan salah mengenai anak cacat, diantaranya yaitu masih menganggap anak cacat sebagai kutukan Tuhan. Cacat merupakan dosa warisan orangtua, dan juga menganggap anak cacat sebagai gangguan dari roh halus. Berbagai pandangan salah mengenai anak cacat ini menyebabkan penerimaan yang salah terhadap anak cacat di masyarakat. Masyarakat memandang rendah terhadap anak cacat sampai mengucilkan anak cacat (Mughni, 2001).
Sikap dan pandangan yang salah dari masyarakat terhadap anak cacat, seolah-olah penderita cacat itu selain dihukum oleh nasib, juga dihukum oleh masyarakat normal disekitarnya. Banyak penderita cacat yang menganggap bahwa kecacatan mereka merupakan “Pagar Tembok” yang merampas mereka dari kehidupan yang nyata pada masyarakat normal. Mereka hidup didalam lingkungannya sendiri, dengan sikap-sikap yang negatif, penuh prasangka dan rendah diri, tetapi sebaliknya banyak pula penderita cacat fisik yang sukses dalam hidupnya. Hal ini tergantung pada kepribadian mereka sendiri dalam menghadapi keadaan cacat yang dideritanya, juga kesempatan yang ada (Soetiningsih, 2000). Cacat fisik adalah anak yang menderita cacat jasmani yang terlihat pada kelainan bentuk, tulang atau otot, kelainan fungsi otot, tulang, maupun syarafnya (DIKNAS, 1981).
Berdasarkan data yang di dapat dari data  Sensus Nasional Biro Pusat Statistik pada tahun 2003 jumlah penyandang cacat di Indonesia sebanyak 0,7 % dari jumlah penduduk 211.428.572, di Sulawesi selatan pada tahun 2005 populasi penyandang cacat fisik sebanyak 37,86 %, menurut Badan Kesehatan dunia jumlah anak cacat fisik di provinsi Aceh 10 %, menurut data Dinas Kesejahteraan Sosial pada tahun 2008 jumlah penyandang cacat di Kota Bengkulu sebanyak 14,58 %, sedangkan jumlah siswa dan siswi di Sekolah Luar Biasa Kota Bengkulu sebanyak 46 0rang, dimana lima orang kurang aktif atau tingkat kehadiran kurang dari 50 %.
            Telah dibuktikan dalam suatu penelitian bahwa terdapat hubungan yang jelas antara keadaan fisik seseorang dengan harga diri. Individu yang dilaporkan mempunyai kelainan fisik secara bermakna berhubungan dengan harga diri rendah dari pada individu yang tidak mempunyai kelainan fisik (Stuart dan Sundeen, 1999). Harga diri sendiri merupakan penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisa seberapa jauh prilaku memenuhi ideal diri. Harga diri akan membentuk pandangan seseorang terhadap dirinya baik mengenai fisik, ideal diri, peran maupun identitas diri. Harga diri merupakan penilaian individu (self evaluation) mengenai dirinya. Penilaian diri ini paling mendasar karena akan membentuk kepribadian (Stuart dan Sundeen, 1999).
Harga diri yang rendah pada anak cacat akan menyebabkan anak cacat frustasi terhadap kemampuannya, putus asa, merasa tidak mampu dan menarik  diri dari lingkungannya. Hal ini akan menyebabkan anak cacat tidak mampu mengembangkan diri, mengasah kemampuannya dan keterampilan agar kecacatan yang ada tidak membuatnya terpuruk dan tidak berkembang. Pembentukan harga diri pertama kali dan terutama didapatkan melalui pengalaman yang diperoleh anak dirumah dimana peran orangtua dan kondisi keluarga mempengaruhi perkembangan kepribadian anak sehingga memiliki peran penting dalam menimbulkan psikopatologi pada anak (Stuart dan Sundeen, 1999).
Maccoby (1990), menyatakan pola asuh orangtua itu sendiri menggambarkan interaksi orangtua dengan anak yang didalamnya orangtua mengekspresikan sikap-sikap, nilai-nilai, minat dan harapan-harapannya dalam mengasuh dan memenuhi kebutuhan anak. Pola asuh terdiri dari 2 (dua) dimensi yaitu dimensi kehangatan dan dimensi kendali. Dimensi kehangatan adalah aspek penting dalam pengasuhan anak yang menunjukkan respon dan afeksi orangtua dan anaknya, sedangkan dimensi kendali adalah mencakup seberapa jauh orangtua mengendalikan tingkah laku anak untuk memastikan bahwa peraturan mereka dipatuhi oleh anak-anak mereka (Maccoby, 1990).  
Kecacatan pada anak dapat menimbulkan berbagai sikap dan reaksi orangtua terhadap anak. Ada orangtua yang dapat menerima kecacatan yang ada pada anaknya, ada menolak keberadaan anak cacat yang dipandang membawa malu bagi keluarga, atau biasa juga orangtua menjadi terlalu memanjakan dan melindungi anak dikarenakan perasaan bersalah orangtua terhadap anak (FK UI, 1995).
Hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan peneliti, bahwa visi dan misi Sekolah Luar Biasa Kota Bengkulu adalah berkreasi, berprestasi, berbasis ketrampilan sebagai hidup mandiri berdasarkan pada nilai-nilai budaya dan agama, dan misi Sekolah Luar Biasa adalah meningkatkan mutu yang relevan dalam pendidikan khusus dan layanan khusus, menanamkan keyakinan melalui pengalaman ajaran agama, mengembangkan pengetahuan dibidang keterampilan bahasa, olahraga, dan seni budaya sesuai dengan bakat, minat dan kemampuan siswa, meningkatkan prestasi dalam bidang ekstrakulikuler  sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh siswa. Peneliti juga melakukan observasi dan wawancara pada beberapa anak dan guru yang mengajar bahwa pada beberapa anak, terlihat ada anak yang menghindar bila diajak bicara, tidak berani menatap lawan bicara. Beberapa diantara mereka menyatakan mereka tidak mungkin untuk melanjutkan kependidikan yang lebih tinggi. Ada anak yang terkadang tidak masuk sekolah untuk waktu yang lama dan tidak aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler sekolah. Orang tua terkadang kurang mendukung terhadap kegiatan anak di sekolah maupun di luar sekolah dan jarang terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan di sekolah.
Uraian diatas menunjukkan bahwa pola asuh orangtua merupakan salah satu komponen penting yang berpengaruh terhadap harga diri anak cacat fisik yang rendah, itu karena banyak faktor salah satunya adalah pola asuh orangtua. Oleh karena itu penulis tertarik untuk meneliti apakah ada hubungan antara pola asuh orangtua dengan harga diri pada anak cacat fisik di Sekolah Luar Biasa Kota Bengkulu.

METODE PENELITIAN
Penelitian adalah diskriptif yang bersifat analitik dengan metode Cross Sectional, dimana akan dipelajari hubungan antara variabel independen (pola asuh orangtua)  dan variabel dependen (harga diri pada anak cacat fisik) dengan pengukuran satu kali, pada satu saat (Notoadmodjo, 2005).
 Populasi sebanyak 46 orang, yaitu seluruh orangtua atau wali dan anak penyandang cacat fisik di Sekolah Luar Biasa Kota Bengkulu.
Pengumpulan data menggunakan kuisioner, sebelum

memulai pengumpulan data, peneliti memilih responden yang sesuai dengan kriteria sampel.
Analisis Univariat dilakukan untuk mendapatkan gambaran distribusi frekuensi variabel pola asuh orangtua dan harga diri anak penyandang cacat  sedangkan untuk melihat hubungan ke dua  digunakan analisis bivariat dan diuji dengan chi-square yang diolah dengan  komputerisasi program SPSS dengan derajat kepercayaan 95 % (α = 0,05).

HASIL  DAN  PEMBAHASAN
HASIL
            Penelitian dilaksanakan pada tanggal 25 Agustus 2008 sampai dengan 30 Agustus 2008 di Sekolah Luar Biasa Negeri Kota Bengkulu, Sekolah Luar Biasa Dharma Wanita Persatuan Provinsi Bengkulu, dan Sekolah Luar Biasa Amal Mulya Kota Bengkulu. Responden berjumlah 46 orang yaitu siswa-siswi yang ada di Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) dan orangtua atau wali. Responden yang tidak dijumpai disekolah,  dilakukan dengan mendatangi rumah satu persatu. Hasil penelitian adalah sebagai berikut :


Tabel  1. Gambaran Pola Asuh oleh Orangtua terhadap anak  Penyandang                                       Cacat Fisik di Sekolah Luar Biasa Kota Bengkulu Tahun 2008
No.
Pola Asuh Orang Tua
Frekuensi
(f)
Presentase
(%)
1
Kurang
16
34,8
2
Baik
30
65,2

Jumlah
46
100

Tabel 1 terlihat bahwa hampir sebagian (34,8%) pola asuh orang tua terhadap anak penyandang cacat fisik dengan pola asuh kurang

                    Tabel 2. Gambaran harga diri pada anak penyandang cacat fisik
   di Sekolah Luar Biasa Kota Bengkulu Tahun 2008
No.
Harga Diri Anak
Penyandang Cacat
Frekuensi
(f)
Presentase
(%)
1
Rendah
11
23,9
2
Tinggi
35
76,1

Jumlah
46
100


Tabel 2 terlihat bahwa dari 46 responden, hampir sebagian  (23,9%) harga diri pada anak penyandang cacat fisik dengan harga diri rendah

   Analisis bivariat hasilnya dapat dilihat pada tabel 3 berikut :


Tabel 3. Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan Harga Diri Anak Penyandang
 Cacat Fisik
Pola Asuh Orang Tua
Harga Diri pada Anak Penyandang
cacat Fisik
Total
P. Value


Rendah
Tinggi
N
%
N
%
N
%

0,032
Kurang
7
15,2
9
19,6
16
34,8
Baik
4
8,7
26
56,5
30
65,2
Total
11
23,9
35
76,1
46
100

   Tabel 3 diatas terlihat bahwa dari 16 responden, pola asuh orang tua yang kurang dan menyebabkan harga diri rendah pada anak penyandang cacat fisik sebagian kecil (15,2 %),  pola asuh orangtua yang baik dan menyebabkan harga diri rendah pada anak penyandang fisik sebagian kecil (8,7 %). Hasil uji chi-square didapatkan nilai  p value = 0,032. Dikarenakan nilai  p value = 0,032  lebih kecil dari  α = 0,05 maka dapat disimpulkan H0 ditolak, yang berarti bahwa terdapat hubungan yang bermakna antar pola asuh orangtua dengan harga diri pada anak cacat fisik di Sekolah Luar Biasa Kota Bengkulu pada tahun 2008.

PEMBAHASAN
            Berdasarkan penelitian pada variabel Pola Asuh Orangtua, dari 46 orang responden didapat hampir sebagian (34,8%) pola asuh orang tua terhadap anak penyandang cacat fisik dengan pola asuh kurang. Hal ini dapat dilihat dari hasil kuisioner bahwa orangtua memberikan pujian dan hadiah apabila anak mendapatkan peringkat, memberikan semangat apabila anak dalam masalah, menjalin kepercayaan sehingga anak terbuka dan bercerita kepada orangtua dan usahakan anak nyaman dan percaya kepada orangtua dan bukan malah mengkritik, menghukum dan bahkan mengabaikan anak tersebut, sehingga anak takut dan selalu tergantung dengan orangtuanya dan kurang bersosialisasi dengan orang-orang yang ada disekitarnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Hurlock (1991) bahwa dimensi kendali adalah seberapa jauh orangtua mengendalikan tingkah laku anak untuk memastikan bahwa peraturan mereka dipatuhi sehingga menunjukkan bahwa pola asuh orangtua dengan dimensi kendali dan dimensi kehangatan yang diberikan kepada anak akan memberikan dampak positif bagi anak yakni peningkatan harga diri anak tersebut karena mereka tinggal dalam satu rumah yang diikat oleh keluarga. Pola asuh yang dikatakan terbaik bagi anak adalah yang diberikan dalam satu rumah, dengan satu orang yang berperan sebagai ibu, dalam suatu keluarga yang utuh yang terdiri dari ayah dan ibu, ada kesinambungan pendidikan anak (Markum, 1991).
            Hasil distribusi frekuensi pada variabel  Harga Diri Anak Penyandang Cacat fisik didapat bahwa hampir sebagian  (23,9%) harga diri pada anak penyandang cacat fisik dengan harga diri rendah Hal ini sesuai dengan pendapat Stuart dan Sundeen (1998) yang telah membuktikan bahwa terdapat hubungan yang jelas antara keadaan fisik seseorang dengan harga diri. Individu yang dilaporkan mempunyai kelainan fisik secara bermakna berhubungan dengan harga diri rendah dari pada individu yang tidak mempunyai kelainan fisik. Masih adanya anak yang memiliki harga diri yang rendah pada penelitian ini selain dipengaruhi oleh kondisi fisik anak juga dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti kepribadian dari anak itu sendiri, kemampuan dan kesempatan menyelesaikan tahap perkembangan, orang terdekat dan peran yang dijalankan, selain itu pengalaman masa kecil merupakan masa yang berpengaruh dalam menentukan perkembangan harga diri (Whaley dan Wong, 1998).
   Faktor yang dapat menyebabkan harga diri tinggi pada anak cacat dalam penelitian ini adalah karena anak dalam lingkungan sekolah dimana anak mendapatkan teman-teman dengan kondisi fisik yang sama dengan mereka, ini dapat mengurangi perasaan berbeda anak dengan anak lainnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Hurlock (1991) adanya perasaan berbeda dari teman-teman dimana akan mempengaruhi sikap anak cacat terhadap dirinya sendiri. Semakin anak merasa sangat berbeda dengan anak lainnya maka akan mengakibatkan efek psikologis yang semakin besar. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Coopersmith dalam Stuart dan Sundeen (1998) bahwa cara meningkatkan harga diri anak dapat dilakukan dengan cara memberi kesempatan kepada anak untuk berhasil, menanamkan gagasan, mendorong aspirasi dan membentuk koping, oleh karena itu pendidikan pada anak cacat sangat perlu untuk diberikan, karena pendidikan ini merupakan upaya untuk memberikan kesempatan bagi anak untuk mengembangkan potensi dan kemampuannya sehingga anak sanggup menghayati sendiri kemampuan diri pribadinya dan dapat menerima kecacatannya dengan sikap positif, dapat memiliki keterampilan jasmani dan kemampuan berguna bagi masa depannya dan dapat memiliki kecakapan untuk memahami keadaan sekitarnya (FKUI, 1995).
            Tujuan utama pendidikan bagi anak adalah untuk mengembangkan harga diri yang wajar bagi anak dalam rangka hidup sosial bagi anak nantinya, karena setiap orang tidak mungkin dapat hidup seorang diri dalam masyarakat dan sebaliknya setiap orang mempunyai tugas membantu dirinya sendiri dan dalam hal yang diperlukan benar-benar ia berhak mendapatkan atau menuntut bantuan orang lain (FKUI, 1995).
Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan Harga Diri Anak Penyandang Cacat Fisik. Berdasarkan hasil analisis chi-square didapatkan nilai p value = 0,032 lebih kecil dari α = 0,05. Maka dapat disimpulkan H0 ditolak yang berarti bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pola asuh orangtua dengan harga diri anak penyandang cacat fisik di Sekolah Luar Biasa Kota Bengkulu. Hal ini sesuai dengan pendapat Coopersmith (Burn, 1993) Pola asuh merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi bagi perkembangan harga diri anak. Praktek membesarkan anak khususnya kehangatan dan penerapan kedisiplinan yang diterapkan orangtua terhadap anaknya mempunyai kaitan yang erat dengan adanya perbedaan harga diri dan individu. Kehangatan dan penerapan disiplin ini sendiri merupakan dimensi dari pola asuh orangtua. Hasil penelitian ditemukan bahwa anak yang mempunyai harga diri yang tinggi mempunyai orangtua yang memberikan kehangatan dan penerimaan serta memberikan tuntutan-tuntutan yang berada dalam batas kemampuan anak.
   Pendapat diatas sejalan dengan pendapat Shauger dan Lund dalam Asihwarji (1996) mengatakan bahwa faktor yang mempengaruhi harga diri yaitu pola asuh orangtua sebagai pendidik yakni dalam berkomunikasi, memberikan dukungan sosial, pendidikan, cara pengasuhan dan perawatan. Orangtua sangat berperan dalam mendidik dan membesarkan anak, dimana pendidikan adalah salah satu upaya untuk meningkatkan harga diri pada anak cacat. Pendidikan pada anak cacat dapat diberikan melalui Sekolah Luar Biasa (SLB) sesuai dengan jenis kecacatan yang diderita. Pada penelitian ini sampel yang digunakan adalah anak cacat yang ada di Sekolah Luar Biasa Kota Bengkulu tahun 2008.
   Sekolah dipandang sebagai tempat untuk mewujudkan seluruh kemampuan yang dimiliki anak dan sebagai tempat untuk melepasakan ketergantungan anak dari peran orangtua dan keluarga. Didalam sekolah anak mulai mengenal lingkungan di luar keluarga seperti guru dan teman. Guru dan teman sebaya juga merupakan salah satu sumber dalam perkembangan harga diri anak. Hal ini sesuai dengan pendapat Stainers dalam Burn (1993) telah memperlihatkan dengan begitu jelas didalam studinya mengenai pengaruh guru-guru melalui komunikasi verbal dan non verbal mereka terhadap perkembangan emosi dan kepribadian dari murid-murid.
   Guru-guru di Sekolah Luar Biasa Kota Bengkulu sendiri merupakan guru-guru yang telah melalui suatu pendidikan khusus untuk menjadi pendidik bagi anak cacat fisik, dimana dalam pendidikan untuk menjadi guru bagi anak cacat sangat ditekankan untuk selain mengembangkan kemampuan kognitif dan motorik anak juga ditekankan untuk meningkatkan harga diri anak agar nantinya dapat diharapkan anak dapat hidup bersosialisasi baik dilikungannya. Selain guru, orangtua juga sangat berperan penting dalam meningkatkan harga diri anak, hal ini dapat dilihat dari hasil kuisioner yaitu orangtua yang selalu meluangkan waktu untuk anak mendengarkan apabila anak mengemukakan pendapat, sering berdiskusi dengan anak mengenai sesuatu hal yang sedang terjadi, ini menunjukkan bahwa adanya hubungan antara pola asuh orangtua dengan harga diri pada anak cacat fisik.


SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
   Berdasarkan hasil penelitian tentang hubungan pola asuh orangtua dengan harga diri pada anak cacat fisik di Sekolah Luar Biasa Kota Bengkulu Tahun 2008 maka dapat ditarik simpulan bahwa :
1.  Gambaran pola asuh yang diterapkan orangtua pada anak penyandang cacat fisik di Sekolah Luar Biasa Kota Bengkulu tahun 2008 masih kurang.
2.  Gambaran harga diri pada anak penyandang cacat fisik di Sekolah Luar Biasa Kota Bengkulu tahun 2008 menunjukkan harga diri yang rendah
3. Adanya hubungan yang bermakna antara pola asuh orangtua dengan harga diri pada anak cacat fisik di Sekolah Luar Biasa Kota Bengkulu pada tahun 2008.

Saran
   Berdasarkan hasil penelitian maka disarankan kepada beberapa pihak yang terkait antara lain Institusi Sekolah Luar Biasa (SLB) Kota Bengkulu perlu melakukan program pemantauan perkembangan anak penyandang cacat fisik  serta memberikan motivasi kepada orangtua agar memberikan pola asuh dengan baik kepada anak penyandang cacat fisik dan berupaya meningkatkan dan mengembangkan potensi anak cacat fisik termasuk harga diri anak cacat fisik di Sekolah Luar Biasa Kota Bengkulu.


DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta.
Asihwarji, D. 1996. Ensiklopedi Psikologi. Jakarta : Arcan.
Baumrid. 1991. Pola Asuh. Diakses pada tanggal 17 juni 2008 dari http://www.google.com.
Branden, N. 1994. The Six Pillars Of  Self  Esteem. New York : Bantam.
Burn, RB.1993. Konsep Diri, Teori, Pengukuran, Perkembangan dan Perilaku. Jakarta : Arcan.
Clemes, dkk. 2001. Membangkitkan Harga Diri Anak. Jakarta : Mitra Utama.
Depsos. 1999. Cacat Fisik . Diakses pada tanggal 17 Juni 2008 dari http://www.google.com.
Diknas. 1981. Mengenal Anak Tuna Daksa. Di akses pada tanggal 17 Juni 2008 dari
http ://www.google.com.
Edi. 2001. Cacat Fisik. Diakses pada tanggal 17 Juni 2008 dari http://www.google.com.
Fitgeral. 2001. Tuna Daksa. Diakses pada tanggal 17 Juni 2008 dari http://www.google.com.
Frances. 2002. Etiologi Cacat Fisik. Diakses pada tanggal 23 Juni 2008 dari http
://www.google.com.
Harijanto, Sutji. 2008. Jumlah Anak     cacat Fisik di Indonesia. Diakses pada tanggal 12 Agustus 2008 dari http ://www.google.com.
Hurlock, E. 1991. Perkembangan Anak Jilid I. Jakarta. Erlangga.
Maccoby, E. E. 1990. Social Development :Psikology Growth and The Parent-Child Relationship : New York. Harcout Brace Jovonovich. Inc.
Markum. 1991. Pola Asuh Orangtua. Diakses pada tanggal 12 Agustus 2008 dari http
://www.google.com.
Mugni, A. 2001. Sikap Negatif memunculkan kecacatan. Diakses pada tanggal 23
Juni 2008 dari http ://www.google.com.
Notoatmodjo, S. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
Oktarina. 2006. SPSS 13.0 Untuk Orang Awam, Maxikom, Palembang.
Soetiningsih. 2000. Tumbuh Kembang Anak. Bandung : Alfabet
Staf  Pengajar Ilmu Kesehatan Anak. 1995. Buku Ajar Kesehatan Anak Jilid I. Jakarta: FKUI.
Stuart dan Sundeen. 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi ke-3. Jakarta : EGC.
Wardani, dkk. 2003. Pengantar Pendidikan Luar Biasa. Jakarta : Universitas Terbuka.                 
Wong, DL. 1998. Whaley and Wong’s. Nursing care of infant and children : St.Louis, Missouri. Mosby, Year Inc.